Hukum Adat

Definisi
Hukum waris adat merupakan hukum yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, harta warisan, pewaris, ahli waris, serta cara harta warisan itu dialihkan penguasaannya dan pemilikannya dari pewaris kepada waris. Adapun yang dimaksud dengan harta warisan adalah harta kekayaan dari pewaris yang telah meninggal dunia, baik harta itu telah terbagi-bagi maupun masih dalam keadaan tidak terbagi-bagi. Termasuk di dalamnya harta warisan, yaitu harta pusaka, harta perkawinan, harta asal, harta bawaan, dan harta bersama. Pewaris adalah orang yang meneruskan harta peninggalannya kepada para ahli waris (waris). Ahli waris adalah istilah yang menunjukkan orang yang berhak mendapat harta warisan dari si pewaris. Cara pengalihan adalah proses penerusan harta warisan dari pewaris kepada ahli waris, baik sebelum atau sesudah meninggal dunia.
Hukum waris adat masih dipengaruhi oleh 3 (tiga) sistem kekerabatan atau kekeluargaan yang ada dalam masyarakat Indonesia, yaitu:
- Sistem kekerabatan patrilineal, yaitu kedudukan anak laki-laki lebih utama dari pada anak perempuan. Apabila satu keluarga tidak mempunyai anak laki-laki, maka keluarga tersebut akan melakukan pengangkatan anak. Pada sistem kekerabatan patrilineal, berlaku adat perkawinan jujur. Setelah perkawinan si isteri mengikuti suami dan menjadi anggota kerabat suami termasuk anak-anak yang dilahirkan dari perkawinannya. Diikuti pada masyarakat Batak, Bali, Lampung dan lain-lain.
- Sistem kekerabatan matrilineal, yaitu kedudukan anak perempuan lebih menonjol dari pada anak laki-laki. Dalam sistem kekerabatan matrilineal ini, pada umumnya berlaku perkawinan semenda. Setelah perkawinan si suami mengikuti isteri akan tetapi tetap menjadi anggota kerabat asal dan tidak masuk ke dalam kerabat isteri, sedangkan anak-anak mengikuti anggota kerabat ibunya. Diikuti pada masyarakat Minangkabau
- Sistem kekerabatan parental atau bilateral, yaitu sistem keturunan yang di tarik menurut garis orang tua atau garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan tidak dibedakan. Dalam kekerabatan parental atau bilateral berlaku perkawinan bebas, dimana kedudukan suami-isteri sederajat dan seimbang. Diikuti pada masyarakat Jawa, Aceh dan Kalimantan, Toraja dan lain sebagainya
Unsur-Unsur Pewarisan
Ada 3 (tiga) unsur-unsur pewarisan yang terdapat dalam hukum waris adat, yaitu
- Pewaris, yaitu orang atau subjek yang memiliki harta warisan (peninggalan) selagi ia masih hidup atau sudah meninggal dunia, harta peninggalan akan diteruskan penguasaan atau pemilikannya dalam keadaan tidak terbagi-bagi atau terbagi-bagi
- Ahli waris., yaitu dalam hukum waris adat, semua orang yang berhak menerima bagian dalam harta warisan, yaitu anggota keluarga dekat dari pewaris yang berhak dan berkewajiban menerima penerusan harta warisan, baik berupa barang berwujud maupun harta yang tidak berwujud benda (seperti kedudukan atau jabatan dan tanggung jawab adat)
- Harta Peninggalan, yaitu harta kekayaan yang akan diteruskan oleh si pewaris ketika ia masih hidup atau setelah ia meninggal dunia, untuk dikuasai atau dimiliki oleh para ahli waris berdasarkan sistem kekerabatan dan pewarisan yang berlaku dalam masyarakat adat yang bersangkutan
Harta Warisan Menurut Hukum Waris Adat
Pada prinsipnya dalam hukum waris adat, harta warisan dapat dibedakan dalam empat golongan, yaitu
- Harta suami atau istri yang merupakan hibah atau pemberian keluarga yang dibawa ke dalam keluarga (merupakan harta asal)
- Usaha suami atau istri yang diperoleh sesudah perkawinan (merupakan harta bersama).
- Harta yang merupakan hadiah kepada suami-istri dalam masa perkawinan (merupakan harta asal).
- Harta yang merupakan usaha suami-istri dalam masa perkawinan (merupakan harta bersama).
Pembagian Harta Warisan dalam Sistem Kekerabatan Patrilinial, Matrilinial dan Parental
Keterangan Gambar :
A suami
B isteri
C, D dan E adalah anak-anak A dan B
Pada masyarakat parental, jika A dan B meninggal dunia, maka ahli waris dari A dan B adalah C, D dan E, atau ahli warisnya adalah anak-anaknya baik anak laki-laki maupun perempuan. Bagian masing-masing anak adalah 1/3 bagian
Pada masyarakat patrilinial, dibedakan patrilineal murni ataukah beralih-alih. Pada masyarakat yang menganut patrilinial murni (contohnya pada masyarakat Batak), jika A dan B meninggal dunia, maka ahli waris dari A dan B adalah semua anak laki-lakinya yaitu C, dan E. Pada masyarakat patrilineal beralih-alih (contohnya pada masyarakat Bali) jika A dan B meninggal dunia maka ahli warisnya adalah C. D bukan ahli waris A
Pada masyarakat matrilinial, jika A dan B meninggal dunia maka ahli warisnya adalah semua anak laki-laki dan perempuan yang mewaris harta ibu dan keluarga ibu, contohnya pada masyarakat Minangkabau, dalam gambar di atas yang mewaris adalah C, D dan E, hanya mewaris harta B, harta A jatuh pada saudara A (perempuan dan keturunannya)
Contoh penyelesaian Kasus pada masyarakat parental di Jawa
Keterangan:
A orang yang meninggal (pewaris)
B isterinya
C, D dan E anak-anak A dan B
F dan G anak-anak E, cucu A dan B
Jika A dan B meninggal dunia, meninggalkan harta asal A sebesar Rp 30.000.000,- , harta asal B sebesar Rp 60.000.000,- dan harta bersama A dan B sebesar Rp 90.000.000,- Seandainya E meninggal dunia terlebih dahulu daripada A dan B. maka penyelesaiannya adalah harta asal A ditambah harta asal B ditambah harta bersama A dan B dibagi tiga. Karena A meninggal dunia, maka bagian E diwaris oleh anak-anak E atau cucu dari A dan B yaitu: F dan G. Jadi (Rp 30.000.000,- + Rp 60.000.000,- + Rp 90.000.000,-) : 3 = Rp 60.000.000,-. A dan B mendapatkan Rp 60.000.000,- Sedangkan bagian E diwarisi oleh anak-anaknya, yaitu F dan G, masing-masing mendapatkan Rp 30.000.000,- (F dan G disebut ahli waris pengganti)